Minggu, 17 Mei 2015

CERITA BAPAKKU

Sabtu malam minggu yang sedikit redup, cahaya buram rembulan tertutup awan tebal diatas atap rumah. Tak ada suara lain yang masuk menembus gendang telingaku selain dentingan gitar yang aku petik dengan mata merem melek, menikmati alunan yang tercipta. Suasana kalbu ikut hanyut terbawa alunan lagu yang pelan nan syahdu. Satu piring singkong goreng karya ibu ditambah segelas kopi menemani alunan suasana hatiku yang mendayu-dayu, lebih syahdu daripada lagu.


Dua buah lagu slow telah terlewatkan, sama seperti nasib aroma kopi yang menyeruak dari ujung gelas menusuk hidungku. Asap beraroma nikmat aku hirup kuat-kuat, sebelum aku pekik dengan seruputan pertama dari ujung gelas. nampaknya aku tak salah keluar dari rahim sang ibu, rasa kopi seduhannya terasa pas dilidah dan kepingin terus menggantungkan mulut di ujung gelas hingga tetes terakhir. 


“tumben malam minggu gak keluyuran?” suara bas bapakku menyapa dengan sedikit menekan, menekan mentalku. Ini yang membuat aku betah untuk selalu berada diluar rumah. Aku tidak suka dengan omelan dan ocehan bapak yang seolah tak pernah berhenti setelah aku masuk kelas XII. ada rasa hati-hati dengan kelasku yang sudah berada di ujung usia lulus.

Aku diam membeku dalam getar senar yang aku petik. Ingin aku jawab pertanyaan yang sangat mudah dan jika pertanyaan itu keluar di soal UTS bulan depan aku yakin nilaiku pasti 99,9, tapi sayang bapakku bukan guru dan kalau pun iya dia tidak akan pernah memberiku nilai seperti itu. Nilai yang  terlalu besar untukku dimatanya.

“bagaimana sekolahmu? Gak ada tugas? Bapak lihat teman kamu yang kemarin mampir sangat sibuk dengan tugasnya yang numpuk.” Aku sedikit mengerutkan keningku dan satu nama pun muncul dari kerutan keningku. Riza, teman satu kelasku yang memang kutu buku. Kaca mata tebal setebal buku-bukunya, seakan tak pernah lepas dari tangan dan fokus matanya. Ah, malas rasanya jika aku harus dibandingkan dengan kutu buku itu, aku bukan tipe manusia yang suka dengan deskripsi panjang yang membuat aku nyenyak dan tertidur pulas saat mataku harus berkutat dengan lembaran-lembaran kertas putih berhias tinta hitam bersaf-saf. 


Angin malam mengelus lembut kulitku yang hanya terbalut kaos oblong dan kain sarung yang belum aku copot beres salat isya. Satu buah kursi kosong mengundang bapak untuk duduk sejenak meringankan pinggang dan merebahkan punggungnya yang terasa pegal setelah seharian bekerja. Bapakku seorang petani tetapi ia adalah petani yang memiliki visi dan pemegang komitmen tinggi dalam hidup, imbasnya adalah aku. Visi dan komitmen sudah ku pelajari sejak aku kecil namun beberapa bulan terakhir aku mulai bosan dengan semua yang telah aku dapat dan saat itulah hubunganku dengan bapak mulai bermasalah.

Gitar kesayanganku dalam sekejap hilang dan berpidah ke pelukan bapakku yang mengisap sebatang rokok yang tersisa dengan penuh kenikmatan, dan kemudian mencocolnya diatas piring yang hanya menyisakan satu buah goreng singkong. Api rokok pun padam. Satu buah lagu dari bang Iwan fals   pesawat tempur mulai menggema, menggemparkan teras rumah yang terbalut oleh udara dingin dan angin sepoi menyapa kulitku yang menggigil. aku tak percaya jika bapak bisa memaikan gita selihai itu, aku yakin itu lagu untuk ibukku saat mereka masih muda 30 tahun yang lalu.

aku menikmati alunan lagu itu, aku salah satu penggemar Bang Iwan Fals. sesekali aku ikut bernyanyi dengan bapak, ini moment yang luar biasa. dan tak terasa satu buah lagu pun selesai dinyanyikan. 

"Wanita berkrudung merah muda hari itu, teman dekatmu?" deg, jantungku mulai berontak meloncat-loncat seakan tak ingin sampai bapakku tahu tentang dia. cukup aku dan ibu yang tahu masalah hati yang aku rundung kini.

"dia temanku, sama dengan temanku yang lain." jawabku penuh rasa ragu. aku tergugup-gugup dengan jawabanku yang tak pernah yakin soal cinta.

"hahahaa... akhirnya anak bapak jatuh cinta" tangannya mengelus lembut rambutku yang sudah rapi aku sisir. "jika kamu suka padanya itu normal, kamu tahu orang yang tidak normal seperti apa?" lho, aneh persepsiku selama ini terbalik dengan pertanyaan yang baru saja lepas dari mulut bapak. sontak aku pandangi penuh rasa penasaran, setahuku orang yang tidak normal menurut bapak adalah orang pacaran sebelum waktunya. dalam hati yang ketakutan terus berteriak jika aku tidak pacaran dengan dia yang hari itu nebeng solat ashar dirumah.

"katakan padaku pak!" paksaku dengan antusias ingin mengetahui jawaban.

"dia adalah orang yang berani membohongi dirinya sendiri dan selalu menyalahkan dirinya sendiri! jujurlah pada hatimu, dirimu, keluargamu dan lingkunganmu. jadilah orang yang jujur karena jujur itu susah!"

"aku belum sukses dan aku tak akan pacaran sebelum aku sukses" jawabku mantap.

"tak percuma bapak sekolahkan kamu." senyum bapak mencairkan suasana hatiku yang terintrogasi.
"bapak pernah muda dan diusia 18 sepertimu ini, bapak mulai suka dengan yang namanya seorang gadis, bapak terus-terusan menolak apa yang dirasa hati dan tak pernah mau jujur untuk mengakui jika bapak suka pada gadis itu. kakekmu sangat berjasa waktu itu beliau berkata seperti ini pada bapak, ini adalah fase awal hidupmu yang berbeda dengan fase sebelumnya, gunakan dan berhati-hatilah pada fase yang amat panjang dan bertahanlah sampai kamu berhasil pada komitmen dan cita-cita yang selalu di mimpi-mimpikan saat kamu masih kecil. sejak saat itu bapak mulai legowo dan bisa jujur pada diri bapak bahwa memang diusia sepertimu saat ini normal menyukai seseorang. bapak tidak melarang kamu unutk menyukai seseorang nak, selalu pesan bapak, ingat orang yang kamu sukai adalah cerminan dirimu saat itu, jadi jika kamu ingin mendapatkan wanita yang baik seperti ibumu maka kamu yang harus baik dan berkualitas terlebih dahulu, jika kamu ingin menjadi orang yang sukses berlakulah seperti orang sukses." aku telan ludah bulat-bulat, wejangan kesekian ribu yang benar-benar membuatku semakin bangga memiliki bapak yang akan mecetakku menjadi anak yang luar biasa. lagi-lagi aku percaya jika aku sangat beruntung dapat terlahir dari keluarga yang harmonis.

kini tinggal aku sendiri menyepi di teras rumah, hanya dingin yang semakin setia menemaniku. aku petik senar gitar pelan sepelan mimpiku yang menerawang masa depanku yang semakin gemilang, aku yakin aku bisa berangkatkan ibu dan bapak naik haji dan aku juga sangat yakin jika suatu hari nanti aku bisa melanjutkan kuliah di luar negeri. aminnn....

semoga saja mimpiku ini dapat terjadi suatu saat nanti, biarlah bintang-bintang yang berkilauan di atas sana yang menyaksikan mimpiku. mulai detik ini aku siap menjadi orang yang berkualitas luar biasa, aku berjanji.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar